Home » » Cerpen

Cerpen


oh ternyata..  aku punya tulisan kayak gini juga ya. haha..
 jadi malu serius.


Tentang tulisan ini : #dibuat untuk tugas b.indonesia (suruh buat cerpen)
#tugas SMP pa ya
#dulu ngetik dimana ya..masih belum punya komputer dirumah, hhe

udah deh, cekidot aj :


Alhamdullilahilladzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihinnusyuur, itulah kalimat yang dibaca oleh Afid setelah ia bangkit dari ranjangnya. Memang , pagi itu udara terasa sejuk sekali. Fajar pun mulai menyingsing. Namun,  matahari belum menampakkan kelokanya, suasannya pun juga masih agak gelap. Kala itu, kumandang adzan saling bersahutan menjadi sebuah irama yang tersusun rapi. Syair-syair panggilan illahi itu menggema diseluruh permukaan bumi. Dikala semua orang terlelap dalam mimpi mereka, seruan adzan berlantunan. Ashalatu khairum minannauum, sungguh, suatu seruan yang sangat menyentuh hati.

Dikala itu pula Afid telah berdiri didepan gentong yang ada dibelakang rumahnya untuk mengambil air wudlu. Begitu nikmat sekali ketika telah sampai kepadanya air yang jernih. Selesai berwudlu ia langsung berangkat ke masjid. Disana telah banyak berkumpul jamaah shalat subuh. Akhirnya, shalat subuh dengan berjamaaah pun didirikan. Setelah itu ia kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan keperluan belajarnya disekolah nanti.
Hari itu memang tepat satu bulan setelah ia duduk dikelas tiga SMA. Ia bersekolah di salah satu Madrasah Aliyah, Jepara. Sekolah ini memang bukan sekolah yang favorit akan tetapi ia sangat bersyukur dapat bersekolah  di Madrasah ini. Pada mulanya Ibunya yang memilihkan sekolah itu, beliau berharap anak laki-lakinyanya itu mendapat pengajaran yang lebih baik tertuma mengenai ilmu-ilmu agama. Dengan penjelasan dan nasihat-nasihat dari ibunya akhirnya Afid pun meniatkan dirinya untuk menimba ilmu di Madrasah itu, lebih-lebih untuk mendalami ilmu agama. Setelah dua tahun disana, iapun sedikit mengerti kenapa ibunya memasukkanya di sekolah itu. Disana ia mendapatkan banyak teman yang baik dan pengertian. Memang, mayoritas siswanya adalah anak dari orang yang kurang mampu. Akan tetapi, dengan kondisi yang seperti itu ia merasa tambah besyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan disinilah letak kebahagiaan itu, ia merasa bahagia walaupun dalam kondisi apapun. Dengan teman-teman yang selalu perhatian kepadanya, ia merasa tambah nyaman berada di sekolah itu. Rasa persaudaraan dan kebersamaan pun semakin terasa dan terpuppuk.
Ia menyadari bahwa kehidupan ini tidaklah mudah semudah kita membalikkan tamgan. Baru tiga bulan yang lalu, ia dan keluarganya ditinggal oleh ayahnya. Kehidupannya kini telah berbeda, sebagai anak sulung ia merasa memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Kini berbagai cara ia lakkukan untuk membantu ibunya mencarikan nafkah untuk keluarganya. Namun demikian ia juga memiliki cita-cita yang tidak bisa dianggap remeh, ingin menjadi seorang guru yang sukses dan juga ingin membahagiakan keluarganya.


Saat memasukkan buku-buku kedalam tasnya, ia terkejut melihat sebuah surat terselip diantara buku-bukunya. Ia membuka surat itu dan membacanya. Sungguh tak disangka jika surat itu datang dari seorang gadis yang baru pindah sekolah. Vina namanya, ia baru pindah bulan yang lalu. Ia memang gadis yang cantik apalagi kecantikannya itu dihiasi dengan perilaku yang baik dan sopan. Di dalam surat itu Vina mengungkapkan isi hatinya, dengan goresan tinta biru ia melukisakan perasaanya kepada Afid. Sebersit perasaan halus pun terlintas di hati Afid. Ia tak menyangka jika gadis yang sering menjadi buah bibir di sekolahnya itu menaruh hati kepadanya. Namun ia segera menghalangi perasaan itu karena Ia telah mempunyai komitmen yang kuat di dalam hatinya, yakni mengurusi keluarganya dan serius dalam akademisnya. Ia tidak ingin pikirannya terganggu oleh hal-hal semacam itu.
Akhirnya tepat pukul 07.30 WIB, ia berangkat ke sekolah. Setibanya di sekolah semua berjalan seperti biasa. Namun entah kenapa perasaannya selalu bergejolak ketika bertemu atau berpapasan dengan Vina. Bahkan ketika berada dalam kelas pun juga begitu. Entah kenapa hal itu terus terlintas dalam pikirannya. Beberapa kali ia duduk termenung sendirian layaknya seorang prajurit yang kegilangan baju perangnya.
” Hayo… jangan ngalamun aja dong! Baru mikirin siapa tu? Tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan datang dari belakangnya.
“ Aduh… ada apa tho Wiek? Kaget tau ga!”
“ Ndak! ndak ada apa-apa kok. O ya, kamu dah baca surat itu belum? Tanyanya dengan penuh penasaran.
“ Ih… kamu tu! Surat apa tho? Aku gak tau maksudmu?” balasnya dengan memasang wajah yang berkerut.
“ Alah… gak usah pura-pura ndak tau de! Ya surat yang itu, kemarin kan aku masukin ke tasmu. He..he..he, ngaku aja!”
“ Oo… teranyata kamu tho wiek yang masukinnya? Iih... kamu tu WIek! Iya-iyaaku ngaku de, dah baca kok. Eh.. kok bisa ya dia suka ma aku?”
“ Ya gak tau lah, itukan manusiawi banget tho? Yang jelas dia suka ma kamu baru seminggu yang lalu. Gimana? Kamu mau bales kapan?”
“ Wah, ntar ah! Aku ge banyak kerjaan ni.”
“ Huu… kamu tu, sibuk melulu! Ya udah, cepet dibales ya…!”
“ Insya Allah, tapi aku gak bisa janjiin kapan ya! Soale nunggu waktuku luang” jawabnya dengan santai.
“ Iya-iya, tapi cepet ya! Aku kasihan nglihat Vina nunggu-nunggu jawaban dari mu.” Balasnya.
Di hari berikutnya Afid selalu memperhatikan segala gerak-gerik Vina. Mulai dari perilaku sehari-hari sampai tutur katanya selalu ia perhatikan. Sedikit demi sedikit di dalam hatinya pun telah terbuka ruang untuk disinggahi rasa cinta dan kasih saying. Perasaan itupun ia rasakan semakin lama semakin kuat. Namun, berbagai cara ia lakukan untuk menghilangkan rasa itu. Ia benar-benar ingin menempatkan dirinya pada pembelajaran di sekolahnya. Selain itu ia juga ingin banyak meluangkan waktunya untuk keluarganya.
Semenjak datangnya surat itu, hatinya dipenuhi dengan kebimbangan. Ia tidak tau harus menjawab apa. Jika ia menolak isi surat itu, ia tidak ingin menyakiti perasaan Vina. Ia juga tidak mau membohongi dirinya sendiri bahwa sebenarnya ia juga menaruh hati kepadanya. Akan tetapi ia juga tidak bisa menerimanya karena ia telah memiliki prioritas lain.
Setelah cukup lama, berpikir dan mempertimbangkannya dengan penuh perhitungan, akhirnya ia memutuskan untuk tidak bisa menerimanya. Akan tetapi ia akan menceritakan beban yang ada padanya saat ini. Siapa tau dengan begitu akan dapat menyelesaikan beban-beban tersebut.
Suatu hari, di saat terik matahari mulai menyengat, ia berpapasan dengan vina, kemudian ia menyapanya. Ketika itu mereka bertemu di bawah pohon yang rindang.
“ Assalamu’alaikum, Vin…!”
“ Wa’alaikumussalam, ada apa ya?”
“ Ndak, aku cuma mau tanya aja besok ahad kamu ada acara gak? Soale aku mau ngomong ni ma kamu. Bisa gak?”
“ Oo.. besok ya? Kayaknya gak ada kok. Mank napa? Terus mau ngomong apa tho?”
“ Ya besok aj. Ntar kamu juga bakalan tau kok. Gini lho… besok aku mau ngajak kamu jalan-jalan! Sekalian aku mau ngomong. Gimana, mau gak?”
“ Ya… bisa ja, tapi jangan lama-lama ya! Soale sorenya aku juga harus bantu ibukku buat buka kios.”  
“ Iya-iya aku juga ngerti kok. Paling Cuma bentar. Besok aku tunggu di sekolah aja yaa?”
“ Ya, insya Allah aku nyampe sini sekitar jam 8an! Ya udah ya, aku mau ke perpus dulu ni!”
Keesokan harinya, Afid telah sampai duluan di depan pintu gerbang sekolahnya. Setelah beberapa menit nampak 2 orang gadis berjalan dengan berbusana muslim.
“ Assalamu’alaikum Fid. Dah lama ya? Sorry, tadi nunggu bisnya lama.” Kata Dewi yang menemani Vina saat itu. Memang, Dewi merpakan sahabat terdekat Vina. Sejak pertama kali masuk Vina memang sudah akrab dengan Dewi. Mereka berdua sering dijuluki kakak beradik, itu karena kedekatan mereka.
“ Wa’alaikumusalam, gak kok aku juga baru nyampe. kamu mau ikut pa Wiek?” Tanyanya dengan perasaan gugup.
“ Ii… aneh kamu tu, ini kan acaranya kalian berdua, aku jelas gak ikut lah! Aku kesini tu Cuma nemenin Sang putri ni lho! Sekalian mau ke sekolah bentar.”
“ Oo.. tak kirain nek mau ikut. Vin jadi kan? Mau naek motor pa ngebis ja?” Afid bertanya sambil menghadap ke arah Vina.
“ Ya terserah kamu aja. Tapi ngebis ja ya…! Soale aku gak enak nek harus bonceng kamu!”
“ ya udah, kita berangkat sekarang ja ya! Ntar keburu hujan lagi. Dah ya Wiek, ku pinjem temenmu bentar ya!”
“ Iya-iya, hati-hati nggih! Fid, jaga baek-baek ya kakakku!” jamabnya. Keduanya langsung berpamitan pada Dewi dan pergi untuk menunggu bus.
Di dalam bus, banyak sekali yang mereka bicarakan. Mulai dari diri sendiri, teman, guru, sampai keluarga. Rencananya mereka akan mengunjungi pameran buku, ide ini di dapat juga dari Dewi. Ia tau tempat mana yang ingin dikunjungi oleh Vina. Makanya ia segara memberitahu kepada Afid tentang hal itu. Sesampainya disana, mereka langsung melihat buku-buku yang dipamerkan. Nampak sekali vina begitu bersemangat sekali ketika memasuki ruangan itu.
“ Wah Fid, bagus banget buku-bukunya. Harganya juga lebih murah lagi jika dibandingkan dengan yang ada ditoko-toko.”
“ Kamu mau beli po? Nek iya, ambil aja! Ntar tak bayar wes. Eh, aku mau ngomong bentar ni.”
“ Beneran ni mau beliin aku buku? Ya udah ntar aja tak ambil. Kamu mau ngomong apa? Aku juga dah penasaran ni dari kemarin gak dikasih tau!
“ Gini lho, benere aku tu mau bahas suratmu yang dulu tu lho. Jujur ya, aku tu kaget banget saat baca surat dari mu itu. Aku bener-baner gak nyangka kalau hal ini bisa terjadi. Semenjak itu aku terus memperhatikan setiap gerak-gerikmu, enth kenapa aku malah jadi seneng ma kamu. Tapi aku berpikir apakah itu benar?, apkah itu baik buat kita?, dan apakah itu yang telah digariskan kepada kita? Semua itu terus terbayang dalam pikiranku. Selain hal itu, sebenarnya aku juga memiliki cita-cita yang ingin ku capai dan itu memerlukan kerja keras yang sangat besar. Oleh sebab itu, aku agak berat jika kita harus pacaran atau sebagainya. Maaf bila kata-kataku ini agak pedas, tapi itulah jawabanku. Namun demikian, di dalam lubuk hatiku aku juga menaruh hati padamu. Aku gak tau kenapa bisa kayak gini, yang jelas hatiku benar-benar tergugah oleh budi pekertimu. Sekarang ini aku bener-bener bingung harus gimana. Aku minta maaf ya kalau malah jadi kayak gini”. Dengan penjesannya yang panjang lebar itu, Vina hanya bisa terdiam bisu  mendengarkan dari Afid. Ia merasa bersalah karena telah menganggu pikiran Afid. Namun ia juga terkagum-kagum mendengar kata-kata Afid yang penuh dengan kedewasaan dan kebijaksanaan.
“ Kamu gak perlu minta maaf, harusnya aku yang minta maaf. Aku telah memecah konsentrasimu dengan hal yang gak-gak. Aku baru tersadarkan setelah mendengar penjelasanmu itu. Aku ini memang bodoh, aku datang ke Jogja ini untuk mencari ilmu bukannya yang gak-gak. Kamu bener kok, lebih baik lupakan aja suratku kemarin. Sekalilagi maaf ya aku dah ganggu kamu.” Jawabnya sambil menundukkan kepala.
“ kamu ya jangan gitu donk…! Aku tu juga manusia biasa, insani lemah yang masih berlumuran dosa dan kesalahan. Aku bicara kayak gini bukanya aku sok pintar atau sok suci, tapi aku memandang kita belum waktunya untuk hal-hal semacam ini. Gini aja, gimana kalau kita jadi sahabat aja, ntar nek kamu butuh apa-apa atau mau Curhat diomongin aja. Aku juga gitu kok, jujur ya aku tu juga pengen punya temen cewek yang bisa jadi tempat curhatku.”
“ Ya gak papa sih, aku juga pengen banyak belajar darimu.” Jawabnya dengan wajah yang berseri-seri.

Setelah kejadian itu, mereka berdua sering berkomunikasi mendiskusikan banyak hal. Semakin lama keakraban mereka semakin terjalin erat. Bahkan ada yang menduga bahwa mereka telah jadian. Kedekatan mereka semakin lama semakin jelas, dan boleh dibilang mereka sudah seperti remaja yang terbalut dalam suasana cinta.
Hingga tak terasa satu semester pun telah terlewatkan, detik-detik ujian pun semakin terasa di kalangan siswa kelas III. Disaat itu pula, ketika kira-kira 4 bulan sebelum UNAS, Afid merasa bahwa ia tidak mampu lagi untuk meneruskan studinya. Hal itu dikarenakan factor biaya. Ibunya sering sakit-sakitan, sedangkan adiknya duduk dikelas III SMP yang sebentar lagi juga akan menempuh UNAS. Ia bingung harus berbuat apa? Dengan bersusah payah ia harus mencukupi kebutuhan adiknya, sampai-sampai kebutuhannya sendiri pun terlupakan. Begitu keras usahanya itu.
Dengan adanya banyak tes-tes, Try Out, Pendalaman Materi, dsb itu membuat waktu bekerjanya berkurang. Ia juga merasa terbebani dengan adanya ujian-ujian tsb. Ia juga sering tidak berangkat sekolah untuk mengais rejeki demi adik-adiknya tercinta. Semua ia lakukan untuk kemajun adiknya.
Harapan, angan-angan, cita-cita, semuanya itu seraya telah hilang dari benak Afid. Bahkan keinginan untuk bersekolah pun semakin pudar. Ia tak tau lagi bagaimana membagi waktu yang ia miliki. Ia juga sedikit menyesali kedekatnnya dengan Vina, waktu-waktunya habis hanya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.
Disaat kegundahannya seperti itu, ia juga difitnah telah mepunyai seorang pacar baru. Dengan spontan Vina pun nampak shok dan kecewa. Afid pun menghadapi masalah ini dengan memutar otak berkali-kali. Dengan segudang masalah pribadinya, kini ditambah lagi dengan problem yang tak diduganya.
“ Assalamu’alaikum Vin..!” sapanya ketika bertemu Vina di koridoor sekolah.
Dengan sinis, Vina memalingkan wajahnya dan pergi begitu saja. Terasa teriris-iris hati Afid saat itu. Ia merasa berat menerima kejadian itu. Dengan menghela nafas ia berlari mengejar Vina.
“ Vin, Vin.. tunggu sebentar!” teriak Afid waktu itu.
“ Vin, aku mau Tanya! Ada apa tho? Kok kamu gitu si!”
“ udah lah Fid, gak usah sok perhatian deh. Ngapain juga kamu ngurusi aku!
“ Lho, kok gitu  si! Vin tak bilangin Ya, gossip kayak gitu tu gak bener. Aku tu gak tau apa-apa tentang itu semua. Tolong Vin percaya lah ma aku! Aku tu bukan tipe cowok kayak gitu.”
“ Gak bener gimana? Dah banyak kok saksinya! Tau gak? Perih banget rasanya, aku sekarang gak tau lagi siapa yang bener siapa yang salah! Yang jelas sekarang ku gak mau tau lagi, terserah kamu mau bilang apa?” dengan sedikit mengeluarkan air mata ia membalas penjelasan dari Afid. Dan ia pun langsung pergi meninggalkan Afid.
Dengan perasaan tak menentu, Afid berjalan menuju Masjid. Adzan ashar pun dikumandangkan, Afid pun langsung mengambil air wudlu dan menyempatkan dirinya menunaikan shalat Tahhiyatul Masjid. Selanjutnya iqomah pun dikumandangkan dan shalat ashar pun didirikan. Selesai shalat Afid hanya duduk termenung merenungi kehidupannya saat ini. Ia bersimpuh memohon do’a kepada Sang Kholid.

Ya Allah ya rabbi, hamba-Mu ini bukanlah insani yang sempurna, bukanlah makhluk yang tak luput dari kesalahan. Maka berikanlah hamba petunjuk dan maghfirah-Mu.
Ya Allah Ya khaliq, hamba-Mu ini hanyalah manusia biasa yang sangatlah lemah. Maka berikanlah kekuatan untuk mendekati kebenaran dan kekuatan untuk menjauhi keburukan.
Ya Allah Ya Rahman, tunjukkanlah kami ke jalan lurus, jalan yang engkau beri nikmat bukan jalan mereka yang engkau murkai dan sesat.
Barikanlah kami hati yang tegar dalam menghadapi ujian hidup ini.
         
          Setelah lama merenung, akhirnya Afid memperoleh kata kunci dari semua persoalan kehidupannya saat ini.
 Inti dari semua perjalanan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Dengan begitu segala urusan di dunia seolah-olah akan terasa ringan. Sebab kita telah mengengembalikan semua itu kepada Allah.
          Ia menyadari bahwa selama ini ia kurang begitu memperhatikan kwalitas ibadahnya. Ia lebih terpaku kepada usaha-usaha duniawi saja. Untuk itulah ia harus merubah pola hidupnya saat ini.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Copyright © 2011. :: Harun A. Aziz :: - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger