Banyak
yang tidak
menyangka atau malah tidak
tahu bahwa saya sebenarnya ber-background Salafi. Hehehe...
Iya
betul,
Abah dan Ummi memang banyak belajar dan ber-relasi dengan orang-orang salafi. Ummi itu ber-cadar kok, jilbabnya gedhe (kayak superman), gamisnya pun yang celotehnya orang-orang
mirip “bangjo”, kalo g hitam, biru gelap, ijo tua ya coklat tua, pokonya seragam gitu-gitu lah.
#hufh, miris kalo keinget dulu gimana itu adalah bahan
olokan ketika masa kecil dulu.
Selanjutnya, di
rumah kami musik itu haram dan dilarang. Foto-foto atau gambar gitu juga kalo bisa nemu
“ampuh”. TV pun juga g punya, atau pas ada TV nontonya dibatasi. Dan kalo
sekarang buka2 di gudang masih nemu kok pakaian2 kecil saya yang ummi abah
belikan. Ya gitu lah, alikacong (aliran katok congklang).
(Itu
dulu) iya.. itu dulu, Saya menyebut “itu dulu”.
ya
memang itu
dulu, Bagaimana ummi membesarkan ku dengan pemahaman-pemahaman salaf dan tetek bengek
didalamnya. Namun pendidikan itu hanya bertahan hingga usia Taman kanan-kanak (TK) saja. Sedikit sih sampai usia SD. Karena dengan berjalannya waktu, kami pun
kini hidup ditengah masyarakat umum yang notabene melihat pemahaman yang
demikian dirasa “aneh”. (baca = urip neng deso)
Nah..
sekarang? orang salafi tapi nggak nyalaf. Hhe.. (mungkin
itu sebutan sekarang
kali ya.) entah dimana yang salah atau
bagaimana (ya memang tidak untuk menyalahkan siapa atau apa), namun hal ini
dapat dijadikan perjalanan suatu proses yang telah terjalani. Sedikit banyak
saya sendiri pun memang mengakui bahwa penerapan-penerapan dakwah salaf memang
tidak melekat pada diri saya. Tapi sedikit banyak pula, pemahaman-pemahaman dan
dasar pemikiran yang saya olah dalam otak ini juga tidak terlepas dari itu.
Saya percaya dan yakin bahwa memang dakwah salafiyah lah yang memang mengacu
pada “Islam” itu sendiri. Pada
dasarnya memang dakwah salafiyah adalah untuk mengembalikan fitrah kehidupan
manusia kepada Al-quran dan Hadits dimana mengacu pada para salafus saleh
terdahulu. Ya karena kaum ini sempat dijadikan contoh sebagai kaum terbaik pada
masa itu. Dan bla..bla..bla.. (kalo cerita ini 2 hari tiga malam g selesai
mesti).
Jika dikatakan saya ini Muhamadiyah juga nggak (karena
factor masyarakat kami saja yang kebetulan mendominasi itu). NU apalagi. Atau
manhaj-manhaj yang lain? Hmm..
Saya memang KuPer kalo dalam masalah yang seperti itu.
Saya lebih cenderung hidup beragama ya yang telah digariskan saja, Saya tidak
mau ambil pusing. Tidak ada yang bisa menjamin dari sekian manhaj tersebut
tentang “kebenaran” [Wallahu a’lam bi ash-shawab]
Hop..hop.. keluar dari topik malah.
Yah.. kita lanjutkan ke topic awal. Nah.. Dengan
se-ambreg pola pembinaan salafiyah tersebut ada beberapa hal yang menurut saya
menjadi sebuah bagian yang transisi atau yang saya istilahkan beralih.
Di tengah era perkembangan zaman seperti ini, munafiq
ketika kita meutup mata dari semua yang terjadi, baik yang berupa perkembangan
yang positive maupun yang berbau maksiat sekali pun. Ada beberapa orang memang
yang menanggapi perkembangan seperti ini dengan menutup mata dan seolah-olah
(dalam tanda petik) “menyendiri” membentuk komunitas sendiri. Mereka tidak mau
berusan dengan dunia luar, bersinggungan dengan masyarakat luar dan terkesan –eksklusif-.
Sikap yang bagi masyarakat disekitarnya (angkuh dan cuek).
Sikap ekslusif ini lah yang menurut saya karena memang
ada kesenjangan kebiasaan dan pemahaman yang berbeda. Baik, sebut saja mereka
yang ber-cadar hidup di tengah masyarakat desa yang notabene adalah orang-orang
dengan tradisi “Jaman Doeloe”. Ada sedikit pergesekan social yang entah sadar
atau tidak terjadi pada lingkup masyarakat tersebut.
Menjadi sedikit berbeda itu agak-agak gimana gitu
(memang). Menjadi yang berjenggot sedikit atau jilbaber (berjilbab gedhe) sudah
mendapat labeling tersendiri dari masyarakat sekitar. Ada label yang membuat
hal itu menjadi terkucilkan dan dianggap berbeda Ya kalau harus jujur memang
agak gimana gitu, secara psikologis munafik bila tidak mempunyai rasa seperti
itu.
Poin berikutnya adalah bagaimana jika perasaan itu
merong-rong pada anak yang masih kecil dan belum dapat berprinsip kuat seperti
kakaknya atau kedua orang tuanya misal. Tentu akan memiliki efek tersendiri
bagi si anak. Mungkin bagi kita hal itu dapat dengan mudah teratasi, ya karena kita
telah memiliki prinsip dan itu wajar.
(baik, untuk pembahasan terkait anak dapat dilanjutkan
pada sesi lain). Namun disini saya hanya ingin menggaris bawahi bahwa justru
orang-orang yang mampu survive dalam lingkungan seperti itu lah yang
benar-benar Qowi. Survive disini
bukan hanya tahan dengan keberbedaannya, namun mampu berkomunikasi baik dan
memberi warna pada masyarakat tersebut. Jadi tidak hanya survive dalam
pandangan bertahan saja.
Catatan : itu SUSAH
Terakhir, Saya ucapkan SELAMAT kepada mereka yang
mampu survive tersebut. Dan juga
ungkapan terimakasih yang sebesar-besar nya atas hal yang menginspirasi
tersebut. Karena orang-orang yang memiliki keberbedaan (persepsi masyarakat umum)
adalah inspirasi kehidupan.
Writing Inspiration by : Ummi
0 komentar:
Posting Komentar