Terimakasih sudah share kisah ini, menarik..
Silahkan membacanya!!!!
Silahkan membacanya!!!!
KISAH CINTA ALI BIN ABI THALIB DAN
FATIMAH AZ ZAHRA
Ada rahasia terdalam di
hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, Karib kecilnya,
puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada
suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang
dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan
dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya
tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut
jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa
itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar
kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan
paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku
rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena
merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan
dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana
Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah berapa banyak
budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan
’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda
miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu
Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian
itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah
seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki
yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan
Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan
dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum
muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr
dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat
sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”,
katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin
isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti,
silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali,
sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia
pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil
kesempatan, Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.Yang
ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung
ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin
hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak
yakin.
”Ya. Engkau wahai
saudaraku!”
”Aku hanya pemuda
miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu,
kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang
Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati
wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin
tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih
ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya
dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah
’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka,
”Eh, maaf kawan..
Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah
berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya
berarti ya !”
Dan ’Ali pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian
untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.!!!!
’Ali adalah gentleman
sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan!
Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak kurang
juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa
suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku,
karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang
pemuda ”
‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kemudian Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah
saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
0 komentar:
Posting Komentar