Tentang Nikah Muda
Oleh : Harun Abdul Aziz (KangHar)*
Oleh : Harun Abdul Aziz (KangHar)*
“Run,
kwe ki wis mari.. uwis tho, ngapain ngoprak-oprak perkara itu??”
Haha.. ini ni persepsi yang salah. Bukan begitu, obrolan tentang
nikah itu memang ga ada habisnya. Mau kapan aja, mau generasi mana pun ya tetep
aja menarik. Dan entah ya, ini tu jadi tema yang bikin peserta/audiens g bakal
ngantuk, yang bikin muda mudi rela berbondong-bondong datang ke seminar, dan
yang bikin kasir bookfair itu kelabakan tentunya.
Yaah,
pada kesempatan ini hanya sekedar sedikit berbagi pemikiran saja kok. Hhe..
(sedikit?
Ask me again, ^^..)
Oke, sebelum ngomong panjang lebar, harus saya akui bahwa dulu saya
punya pikiran seperti judul diatas. Alasanya kenapa.., ya kurang lebih mirip lah
alasan pasaran dikebanyakan pemuda seumuran gini. G usah disebutin satu-satu
pasti udah tau wis. (hop..). hmm, dikemudian hari tekad itu semakin bulat
sampai akhirnya teguran itu datang dan berakhir sampai saat sekarang ini. Jadi,
tenang.. paling tidak si penulis sudah pernah merasakannya dan bukan (kaburo
maqtan) lagi.
Emm tapi, di tulisan saya ini tidak ada refrensi yang jelas, data
yang valid dan bukti ilmiah. Yah, sekali lagi tulisan ini hanya didasarkan pada
pengalaman dan realita yang saya temui selama ini (emm,subyektif banget lah). So..
jika dirasa kurang sreg atau nggak sesuai, silahkan Alt+F4 saja agar tak
sia-sia Anda menghabiskan waktu membaca celoteh g jelas ini.
Ok, back to the topic,
Ada beberapa hal yag akan saya tanggapi/komentari terakait nikah
muda ini. Banyak diantara muda mudi kita ini (termasuk saya) yang salah
mengartikan tentang “Nikah Muda”. Secara harfiah Nikah muda ya berarti menikah
di usia muda. Muda disini tentu berdasarkan klasifikasi human psikologis pada
umunya. Banyak yang mengartikan muda, Rentang waktunya pun beragam. Yang jelas,
muda disini peralihan antara masa anak-anak dan dewasa. Emm, biar gampang taruh
lah usia 16-22 tahun (haha.. asumsi tanpa dasar, tapi logis kok. Silahkan
browsing sendiri untuk ukuran muda tu seberapa) #males golek-golek.
Pertanyaan berikutnya berada di usia berapa kita sekarang? Ho ho..
#mejeng, masih muda ternyata (read:mendekati tua) haha..
Nah.. tentang Nikah Muda sendiri,
Buaanyak muda mudi kita itu (termasuk yang nulis.. #again) terlalu
terburu-buru dalam mengambil sikap dan keputusan. Sepertinya mereka (termasuk
yg nulis #lagi&lagi) terjebak pada paradigma-paradigma “Nikah Muda, Why
not?” ato apa lah yg sejenis itu. Seolah hanyut dalam buaian bahwa menikah
adalah segalanya, kebahagiaan yang tiada tara dan opo lah kuwi.. Apalagi dalam
forum-forum ngaji. Si ustadz dengan getol nya bla..blaa.blaa.. Seolah dicekoki
pada sesuatu yang eehhh… banget. Apalagi anak-anak ROHIS tu. Huualah..
rasanya berbunga-bunga indaaaaaaaah bgt. Padahal ngadek (read: berdiri) we
rung jejek (tegak).
Saya masih inget itu, masa2 labil yang keduwuren le dangak
malah jadi khayalan mimpi di siang bolong. Weh.. jangan muna wis, remaja
mana sih yang g tertarik pada obrolan ginian. Apalagi booming2 nya film Ayat-ayat
cinta, KCB dsb. Wuuaah.. khayalannya melayang kemana-mana. Lulus SMA mau daftar
kairo lah, Saudi ato mana lah. (hadew..) #ho’o ra Gus, lim, rif?**
Haha.. KSBB an lah pokok e (read : Kelingan Sek Biyen-Biyen)
Kesalahan Pertama adalah beberapa yang saya tampilkan diatas. Paradigma yang
berlebihan mengenai “Nikah” ini. Mereka terlalu banyak dicekoki oleh paradigma
tersebut, entah melalui seminar-seminar, ceramah-ceramah, buku maupun film. Dan
aneh nya perkara ini adalah tranding topiknya para aktifis saja(kecenderungan
sih). Entah ya, apa saya yang KUPER, atau memang g tahu bener, kalo emang yang
lagi ngetrend nikah muda itu rata2 dari golongan aktifis. La setiap saya gabung
atau mengamati beberapa diantaranya, obrolan yang eeehh bgt tu ya
tentang nikah muda ini. Yang diobrolin itu si A, B, C itu lho. Atau wah murobi
nya si A sedang mengkhitbah mbak ini lho ato baru ta’arufan kirim2 biodata sama
si anu si itu. Diceritain dulu bisa ketemunya dimana, oo.. ternyata Nikah di
semester 3 misalnya dan bla..bla.. bla..
Buaah, g ada habisnya pokoknya.
Nah.. ini sebenarnya yang menstimulus hasrat dan keinginan untuk
cepet2 nikah. Atau paradigma seperti ini ne, “sudah, ge dicepetin.. wes jodo
kalian itu.” yang menjadikan mereka punya pemikiran macem2. (call : nekad-asal
tanggung jawab g masalah-kebeleeet…..)
Padahal ne ya, kalo kita menilik kembali fiqih nikah, disana sudah
tertera dengan jelas kok. Dan saya rasa semua juga sudah tahu bahkan lebih tahu
dari saya. Bahwa ada hukum-hukum tertentu dalam nikah ini. Dimana ia makruh untuk
menikah, disunnahkan/dianjurkan, hingga kapan ia berbubah menjadi wajib untuk
menikah. Menikah di usia muda, secara hukum asal memang diperbolehkan. Namun
juga tidak dianjurkan, apalagi diwajibkan. Tapi, bila dikaitkan dengan situasi
dan kondisi pada orang yang akan menikah, hukumnya bisa bervariasi. Saya rasa
temen2 sudah paham lah tentang hal itu.
Artinya bahwa memang “kemampuan” kan yang menjadi tolak ukur
pernikahan ini. Jika ia mampu dan siap maka Menikah adalah anjuran. Sabda Rasul
:
“Wahai
kaum muda. Barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan
seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat
memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya
ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Masalah berikutnya yang muncul adalah “loh, aku ini sudah siap
insyallah. Lahir batin. Kasihan dia nunggu terlalu lama..” Atau
pernyataan-pernyataan lain lah. Kata “Siap” ya? Hmm,, untuk memastikan hal itu
tolong bedakan deh “menurutku” dengan “kenyataan”. Hhe..
Kalo mau nuruti “menurutku” sepertinya kurang bijak juga. Apa ya..
perkembangan hormon apa gitu yang menstimulus kedewasaan seseorang kadang
menyesatkan juga. Jadi agak terbiaskan antara kenyataan dan pemikirannya yang
terlalu dewasa. Jika mau diingat saya dulu ketika pas menggebu-gebunya ngebet
nikah, ya usia segitu masih kacangan. Mau mengelak bagaimana ya tetep aja masih
bocah. Walaupun mungkin berdalih sudah punya penghasilan, mau tanggung jawab
dsb. Tapi tetep aja “bocah”.
Agar kita bisa melihat “kenyataan” itu, g ada salahnya bila kita
bertanya pada orang2 sekitar kita. Sudah pantaskah saya menikah sekarang? Atau
sudah siapkah saya untuk berkeluarga? Jawaban dari teman dekat, sahabat, orang
tua dan orang2 disekitar kita itu setidaknya dapat mewakili “kenyataan” pada
diri kita masing2. (dicoba deh..!!)
Sedikit ilustrasi,
Kenyataan
itu seperti ini kawan, ketika ditanya “sudah kerja nak?” iya pak, saya punya
usaha ##### dan rencana akan saya besarkan bla..bla..bla.. (hop, pertimbangkan
ajakan nikah laki-laki itu) 2. Iya pak, saya sudah melamar ke perusahaan ini
pak.. sudah diterima nak? Sedang dalam proses pak (hop, pertimbangkan juga
itu), 3. Masih sekolah nak? Oh iya pak, semester 5, doakan 1,5 tahun lagi pak
(pertimbangkan juga) La trus nanti gmn ngasih makan anak saya? Emm,, insyallah
ada jalan untuk itu pak, bukankah Allah tidak tidur.. dan dengan menikah sya
yakin Allah memberikan jalan lebih terang dari pada sebelumnya (hoop…
pertimbangkan #again)
Dengan berat hati saya mengatakan
bahwa “kepastian dan/atau kemampuan finansial” adalah pertimbangan yang benar2
harus ditimbang.
Klo
perempuan gimana? Hmm, silahkan saja sih –klo menurut saya- karena pada
dasarnya yang menjadi tulang punggung dan imam adalah Laki-laki. Kompetensi
kualitas harus qualifight memang. Asal si calon suami benar2 matang atau lebih
tua dari si perempuan saya rasa tak ada masalah untuk menikah muda. Namun,
sedikit pertimbangan saja untuk perempuan. Walau bagaimana pun juga ia adalah
ruh dari rumah tangga itu, kemampuannya dalam menengahi masalah, peredam dan
penenang sangat dibutuhkan. Selain itu, pertimbangan yang lain adalah masa usia
si perempuan itu sendiri, ya kurang lebih 21-25 tahun, Karena diusia itu organ
reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat
serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Pasti pada
pengen kan anak yang dikandungnya sehat dan prima??
Kedua,
Kesalahan berikutnya masih mengenai
paradigma yang kurang tepat juga, Muda-mudi ini hanyut pada angan-angan bahwa
menikah itu menyengkan dan membawa kebahagiaan. (y memang betul) namun, bukan
hanya itu saja sob.. bagi saya Menikah adalah gerbang pertengahan hidup. Yang
siap meloncat pada fase kehidupan selanjutnya. Menikah bukan akhir dari
segalanya, seolah2 nikah itu gregetan banget, ditunggu2 sampe nglamunin. Kapan
ya nikah.. punya momongan, pacaran sama suami/istri. Dan sebagainya..
Paradigma
ini yang sering memicu hasrat untuk cepet-cepet nikah. Padahal.. beh.. banyak
lika-likunya sob. Beberapa bulan terakhir ini saya memang sering memikirkan
tentang rumah tangga. Dan kebetulan memang akhir2 ini sya sedang terbentur pada
urusan rumah tangga yang huaaaahhhhhhhhhhh…. Complicated banget!!!
Coba
lah, pada beberapa kesempatan forum kita bahas dan diskusiin hiru pikuk nya
berumah tangga, bukan hanya seneng-senengnya doang. Serius.. rumah tangga itu
complicated. Percaya deh.!! (sok teu bgt sih.. _padahal belum ngincipi_hihi..
^^). Tapi bener kok sob, rumah tangga
itu complicated bgt. Dan ini yang akan saya komentari pada bagian ketiga
berikut ini.
Ketiga, (Adanya “Batasan Kondisi”)
Saya menerjemahkannya sebagai
“batasan kondisi”. Yaitu batasan psikologis setiap orang. Se-dewasa apapun ia,
ketika masih berumur 17-20 tahunan tentu akan jauh berbeda ketika ia berusia 23
keatas. Dan dengan berat hati saya mengatakan bahwa faktor usia yang terlalu
muda juga sangat berdampak untuk urusan sekramat “Menikah”. Kalo ini saya berkaca pada temen-temen saya
yang sudah duluan start Nikahnya daripada saya. Ada banyak problem yang ia
tanggung walau ketika pas ngumpul2 gitu nggak keliatan. Serius.. saya bisa
merasakan dan meraba yang sedang dialami teman saya ini. “Batasan Kondisi” ini
lah yang sebenarnya mereka hadapi. Seumuran mereka harus menaggung rumah tangga
dan segala macam kewajibannya, belum lagi kewajiban study nya dan
kewajiban-kewajiban yang lain. Saya berikan bocoran (di usia saya, satu
angkatan, tahun ini baru ospek yang ke-4, setelah pindah ke 4 universitas.)
Ok,
saya tidak mengatakan bahwa keputusannya salah dan keliru. No.. justru kami
malah kagum dan terpukul [gila aja, konco “plek” wis duwe bojo dab _gmn ga
kecabik2 hati ini :-( ]
Jika saudara masih menyangkal. “Anda
ini banyak berbelit-belit ya, jadi orang kok banyak pertimbangan.. yah, apapun
yang terjadi pasti bisa dilalui dengan berdua.”
Hmm,
kalo begitu bagaimana Saudara menjelaskan tentang teman-teman kita yang sudah
menikah? Emm, LULUS SMA dan ijab sah? Saya yakin banyak teman2 saudara yg Nikah
duluan, atau lulus SMP bahkan. Silahkan berkomentar sendiri saja. Dalam banyak
hal, mereka mempunyai “Batasan Kondisi” masing-masing. Ya karena memang
kemampuan,kematangan mereka hanya sebatas itu. artinya bahwa Usia sangat
berpengaruh disini. Sekali lagi, “bocah ya tetep saja bocah”.
Dan sekali lagi, bukan saya ingin
menghalang2i menikah. (la nek disuruh jujur apa ya tampang seperti saya ini
nggak kepengin Nikah? Haha #ngaku juga akhirnya)
tapi sekedar sedikit berkomentar saja kok, Bahwa
“batasan kondisi” itu tak dapat kita pungkiri dan –jujur- Harus kita AKUI.
Bahwa kita memilikinya. #Iya apa iya?
Terakhir, Keempat.
Ini ni, pertanyaan yang sering saya
tanyakan. “Apakah menikah itu parameter/ukuran bahwa ia adalah jodoh kita?”
hayo.. ada yang bisa jawab? (tulis dikomentar ya). Pertanyaan ini yang kadang
menggangu saya, bahwa yang ada di dunia ini belum pasti, bukan angka matematis.
Semuanya dapat berubah..
So, bagi yang kebelet2 nikah di usia
muda (call : selak ra betah) yuk, ambil air wudhu dan renungkan baik-baik. Jika
apa yang saya tulis diatas masih kalah dengan perasaan Cinta Saudara.. maka
Tanyakan lagi pada sang Cinta itu, Tanya apapun.. ^^
Oh,
bentar-bentar, ini semua ga berlaku kalo memang apa yang Saudara alami sudah
sampai batas “Wajib Nikah” kalo demikian ya memang harus dilakukan, g usah
kebanyakan ribet ini itu.
Jika belum, mari kita renungkan
sejenak. Jangan-jangan keinginan kita itu hanya ikut arus teman2, kakak atau
senior2 kita. Atau jika memang baru “merasa” SIAP saja. Oh, atau gini, saya
memutuskan ini karena untuk menjaga dan terhindar saja. Hmm.. kalo demikian
silahkan ambil timabangan dan timabng sendiri. Tentu bukan timbangannya sendiri
lho ya. Karena, sekali lagi saya mengingatkan bedakan “menurutku” dan
“kenyataan”.
Loh, kalo gitu, bagaimana dengan
yang nulis sendiri? Hwuaaa… (nah lo, kena batunya).. hhe.
Mau
jawab apa ya.. haha..
Emmmm…
Teringat
sebuah nasehat dan saya mayakininya. Bahwa “Jodoh itu g kemana kok” “g usah dikejar,
ia akan datang sendiri..” entah bagaimana datangnya Allah sudah mengaturnya dengan baik. Jika
masih memiliki kewajiban yang harus ditunaikan maka tunaikan dulu. Married is
not everything, he will call if time is coming. #trust me.. ^^
Orang
sudah pada dicekoki film KCB dan sejenisnya juga. Bagaimana si Abdullah
wira-wiri ngalor ngidul dan bagaimana si Nisa juga sudah nikah, namun tetap
juga dipertemukan. Wes tho..
Tenang saja,. ia tak akan kemana selama kita meyakininya. Ia akan
setia menunggu kok dan yang g kalah penting ia akan datang jika waktunya tiba.
^^
Jatuh bangun itu pasti ada. Bosan selama penantian itu pasti. Namun
jika rasa takut atau cemas akan kehilangan itu menghampiri.. maka cek you’r
iman Now!! Hehe ^^
Ingat, Ia tak akan kemana. ^^
@kangharun_
Catatan :
* = Mahasiswa akhir yang masih
kebelet Nikah (sajakke).. hha, enggak ding. Yah, pemuda yang sedang menata
langkah hidup untuk masa depannya, #hueek, sok-sok wise gitu.. ^^
* = Mahasiswa akhir yang
** =
Nama panggilan memeber “D’Punow” --> geng ra cetho penuh hasrat,
terilhami dari kekompakan tokoh wayang (punokawan_Semar, Gareng, Petruk dan Bagong)